Thursday, April 1, 2010

Mbok “Dhaifah”: Sie Penjual Nasi Pecel

oleh: Ipoenx Kusam


Pada jm 04.00 sore adalah waktu pulang sekolah diniyah di pesantrenku. para teman santri lanngsung pulang asrama untuk menaruh kitab kemudian sholat ashar berjama'ah di  mushollah. Setelah sholat ashar  berjama'ah, beberapa teman-teman santri  pergi ke warung mbok dhaifah di samping pesanten untuk menyantap nasi  pecel mbok Dhaifah yang lezat dan murah meriah. Di warung mbok dhaifah teman-teman santri  menghabiskan waktu dengan canda tawa sambil  menikmati nasi pecel mbok Dhaifah yang terkenal ma' nyos
dan murah meriah. Pada suatu ketika ada kebijakan dari pesantren bahwa para santri dilarang makan di warung mbok dhaifah dengan alasan “syubhat”.  Para pengurus pesantren  beralasan mbok dhaifah
kurang mengerti tentang  Fiqih Thoharah, sehingga makanan mbok Dhaifah kurang terjamin kebersihan dan kesuciannya.

Beberap “santri” kecewa dengan kebijakan tersebut, karena warung mbok dhaifah adalah warung paling murah dan tempat para santri bersantai setelah seharian mengikuti kegiatan pesanten yang menjenuhkan. Cerita ini menjadi sebuah pengalaman yang ironi dan membuat beberpa  santri gelisah. Suatu malam, si fatih salah satu teman santri ngajak teman-teman untuk mendiskusikan kebijakan tersebut di lorong siti jenar. Singakat cerita terciptalah sebuah diskusi yang lahir dari kegelisahan beberapa santri atas ketidakadilan terhadap mbok Dhaifah yang janda dan bermodal kecil.


Namun nasi pecelnya lezat dan murah meriah. Si Dakhil teman santri yang  jarang mandi tapi rajin baca memberikan pendapat bahwa kebijakan merupkan bentuk “Hegemoni” pasantren terhadap perekonomian masyrakat kecil sekitar, supaya hegemoni tersebut para pengurus pesantren melakukan rasionalisai “syubhat” sebagai pembenaran.

Dengan rasionalisai “syubhat” kebanyakan  santri menerima kebijakn tersebut. si Black membenarkan pendapat si Dakhil, karena para santri agar mudah ta'at terhadap kebijakn peasntren ketika mereka diberi alasan keagama'an. Pengetahuan agama yang di jadikan pembenaran kebijakan tersebut merupakan power of knowledge  atau shoft power yang mudah diterima dan diamini oleh kebanyakan para santri. Kemudian si Kanibal menegaskan juga bahwasanya para pengurus melakukan kebijakan dengan menggunakan tipelogi Govermentality,  dengan artian kebijakn tersebut merupakan aturan baku  pesantren, mereka melakukan kebijakan tersebut sudah sesuai intruksi kyai (pemimipin tertinggi “negara” pesantren)  dan demi menyelematkan para santri dari barang syubhat. Cerita di pesanten ini menjadi cermin kecil terhadap nergara kita, bagaimana negara dalam melakukan kebijakan seringkali menggunakan alasan-alasan  tehnis ilmu pengetahuan dan hukum, walaupun kebijakan seringkali merugikan rakyat kecil. dan fenomina yang lebih membahyakan lagi negara membentuk para sanri atau para intlektual tukang/robot melalui kurikulum pendidikan atau pesanten, sehingga para santri/siswa dan para intlektual tidak peduli dan kritis terhadap ketidakadilan terhadap masyarakat kecil di sekitar kita. Demikianlah, sebuah cerita pedih dan tragis di pesantrenku yang sering melukai rasa keadilan namun penuh romansa kehidupan.

TANBIHUM: 
Pesan penting : jangan terlau serius bacanya !enjoy aja…..hehehe.

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More