Tuesday, February 2, 2010

Mendiknas: SMP Berbasis Pesantren??

Pasca jajaran birokrasi kepemerintahan suatu negara terbentuk, baik presiden maupun jajaran kabinet-kementrian, sudah menjadi tradisi bahwa mereka akan membuat gebrakan-gebrakan program baru dalam jangka waktu 100 hari. Tradisi ini dilakukan kiranya untuk menunjukkan keseriusan serta kekompakan kepemerintahan baru terpilih dalam memegang amanah rakyat. ‘Perlombaan program dan unjuk kemampuan’ ini dilakukan oleh semua jajaran kabinet-kementrian, tak luput didalamnya ialah Mentri Pendidikan Nasional (Mendiknas) melalui Departemennya. Mereka menyatakan akan membuat program baru yakni mengadakan program pengadaan Sekolah Menengah Pertama (SMP) berbasis Pesantren.
Mereka rencananya akan mendirikan 10 SMP berbasis Pesantren terlebih dahulu sebagai Pilot Projec, Jika program itu dikemudian hari dinilai bagus, maka akan diperluas jangkauan dan jumlahnya. (RJ/03/11/09)
Program yang dianggap ‘barang baru’ dan penyembuh degradasi moral bangsa ini sebenarnya sudah pernah diselenggarakan oleh Mendiknas sebelumnya, yakni dengan mengadakan sebanyak 40 SMP berbasis Pesantren. Tujuan diadakannya program ini ialah untuk mencetak anak didik yang faham keilmuan umum sekaligus keilmuan keagamaan atau anak didik yang berpengetahuan umum (keintelektualan dan sejenisnya) serta mempunyai kepribadian religius, sederhana, dan mandiri sebagaimana kepribadian santri pesantren tradisional.

Proses belajar-mengajar dalam sekolah ini akan dilakukan dengan model full day School, pagi sekolah sebagaimana sekolah formal umumnya kemudian siang dan malamnya diisi dengan kegiatan ala pesantren, yakni mengaji atau mendengarkan ceramah dari guru-guru agama. Sekolah model ini juga akan diselenggarakan dengan menggunakan model asrama pemondokan. Maka dari itu, sekolah-sekolah yang ditunjuk oleh Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) sebagai Pilot Project ialah pesantren-pesantren yang dianggap mampu mengadakannya. Karena pesantren bukan wilayah garapannya, maka Depdiknas akan bekerjasama dengan (Departemen Agama) Depag yang job kerjanya bersinggungan dengan pesantren. (RJ/03/11/09)

Kemudian, dalam persoalan ini yang menjadi pertanyaan ialah “Apakah dengan proses belajar-mengajar dan kurikulum seperti itu anak didik tidak merasa terbebani, disatu sisi mereka harus mempelajari pengetahuan sebagaimana yang diberikan pada sekolah formal umumnya dan disisi lain mereka juga harus mempelajari dan menguasai pelajaran ala-pesantren?”, dan “Apakah nanti tidak akan kalah salah satunya, entah pendidikan formal atau pendidikan pesantrennya, mengingat padatnya kurikulum dan keragaman kemampuan serta minat anak didik?”.

Sebenarnya kedua pertanyaan di atas saling terkait, jika anak didik merasa terbebani maka kemungkinan yang terjadi selanjutnya ialah mereka akan memilih salah satu konsentrasi pendidikan yang mereka anggap penting dan perlu. Jika hal ini terjadi, maka tujuan awal diselenggarakannya program ini bisa dinilai gagal. Mungkinkah hipotesis ini benar? Mari kita tengok sejarah pendidikan kita, tepatnya sekolah-sekolah, yang sedikit banyak mempunyai karakteristik sama dengan program gagasan Mendiknas Kabinet Bersatu jilid II ini.

Sekolah model ini, jauh sebelumnya sebenarnya sudah banyak diselenggarakan oleh Pesantren-Pesantren yang berusaha untuk merespon tantangan modernitas. Mereka mendirikan SMP/Mts, MA/SMA/SMK, dan bahkan Perguruan Tinggi (PT) yang terletak dilingkungan pesantren dan pengolahannya pun berada dibawah naungan pesantren. Hal ini diantaranya sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa Pondok Pesantren (Pon. Pes.) Unit Lirboyo Kediri, Pon. Pes. Den Anyar, Tambak Beras, serta Pon. Pes. Tebu Ireng di Jombang dan masih banyak lagi Pon. Pes. – Pon. Pes. Lainnya. Namun, meski tidak bisa digeneralisasi, out put yang dihasilkan malah bebalik dari tujuan awal, banyak anak didik/ santri yang merasa tertekan, terbebani dan yang sangat ironis ialah terjadinya sekularisasi nilai-nilai pesantren. Dalam arti keluhuran nilai-nilai pesantren ‘salaf-tradisional’ semakin lama semakin pudar dan hancur tergilas oleh kepentingan atau tuntutan-tuntutan pendidikan formalnya. Hal ini saya yakin tidak perlu menyebutkan contoh-contohnya, sebab hal ini sudah jelas dan banyak contoh-contoh yang muncul.

Apakah program pendidikan berbasis pesantren itu buruk? Menurut kami bukan pertanyaan itu yang harus dijawab. Pendidikan berbasis pesantren perlu dan bahkan harus diselenggerakan mengingat degradasi moral yang dewasa ini kian memprihatinkan. Namun yang perlu diperhatikan dan dirubah menurut kami ialah sistem dan kurikulumnya. Pengadopsian atau penggabungan kurikulum pendidikan formal dengan pendidikan pesantren secara mentah-mentah dan tidak adanya independensi pengelola itulah yang menjadi persoalan.

Menurut saya, sebagai orang yang pernah dididik dalam model pendidikan seperti itu, ialah kurikulum harus diperingan dan diramu sedemikian rupa supaya tidak terjadi tumpang tindih atau pengulangan pelajaran antara kurikulum pendidikan formal dan kurikulum pesantren. Peristiwa ini sangat jelas terjadi ketika jenis sekolah yang diadopsi ialah sejenis Madrasah Tsanawiyah (Mts), Madrasah Aliyah (MA), dan Perguruan Tinggi Islam (PTI). Misalnya, dalam kurikulum formal terdapat mata pelajaran al-Qur’an-al-Hadits, Fiqih, Aqidah Akhlak, serta mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan lainnya, dan semua mata pelajaran ini diulang atau diajarkan kembali dalam kurikulum atau jam-jam pesantren. Singkatnya, hal yang perlu dilakukan ialah mata pelajaran yang diajarkan dalam kurikulum formal hanya yang menyangkut pelajaran-pelajaran umum sementara pelajaran-pelajaran keagamaan biar diurus oleh Pesantren atau jam-jam Pesantren. Pelajaran-pelajaran umum kurikulum Formal pun juga harus benar-benar disaring yang sesuai dengan kebutuhan atau jurusannya.

Kemudian terkait pengambil kebijakan atau pengelola sekolah harus diberi ruang yang seluas-luasnya. Dalam arti diberi kewenangan independent. Biarkan mereka mengelola dirinya sendiri, sebab merekalah yang lebih tahu apa yang dibutuhkan dan bagaimana keadaan dilapangan, sementara tugas pemerintah ialah hanya sebagai patner dan donatur atas semua kebutuhan pendidikan, bukannya sebagai controller. (Almsy/03/11/09)

*Pengamat Pendidikan Pesantren dan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More