Monday, February 1, 2010

MENYAPA ALAM

firman daeva*
Seluruh alam raya diciptakan untuk digunakan oleh manusia dalam melanjutkan evolusinya hingga mencapai tujuan mencipta. Semua diciptakan Tuhan untuk suatu tujuan: Kami tidak menciptakan langit dan Bumi dan apa yang ada di antra keduanya dengan tanpa sia-sia (tanpa tujuan) (QS 38:27).
Kehidupan makhluk-makhluk Tuhan saling berkaitan. Bila terjadi gangguan yang luar biasa terhadap salah satunya, maka makhluk yang berada dalam lingkungan hidup tersebut ikut terganggu pula. Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam keseimbangan dan keserasian. Karena itu, keseimbangan dan keserasian tersebut harus dipelihara, agar tidak mengakibatkan kerusakan.


Perhatian sunnah terhadap lingkungan dan unsur-usurnya lebih luas dan lebih terperinci lagi, karena al-Qur’an hanya meletakkan dasar-dasar dan kaidah-kaidah pokok. Kemudian sunnah berperan sebagai penjelas dari semua itu, dengan memberikan ketentuan hukum dan tuntunan parsial yang lebih detail.

Hubungan manusia dengan alam atau hubungan manusia dengan sesamanya, bukan merupakan hubumgan antara Penakluk dan yang ditaklukkan atau antara Tuan dan hamba, tetapi hubungan kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah SWT. Karena, kemampuan manusia dalam mengelola bukanlah akibat kekuatan yang dimikikinya, tetapi akibat anugrah Allah SWT. Ini tergambar antara lain dalam surat Ibrahim ayat 32 dan Al-Zukhruf ayat: 13.
Demikian itulah, sehingga kekhalifahan menuntut adanya interaksi antara manusia dan sesamanya dan manusia dengan alam. Interaksi itu bersifat harmonis sesuai dengan petunjuk-petunjuk Ilahi yang tertera dalam wahyu-wahyu-Nya, dan yang harus ditemukan kandungannya oleh manusia sambil memperhatikan perkembangan dan situasi lingkungannya. Inilah prinsif pokok yang merupakan landasan interaksi antara sesama manusia dan keharmonisan hubungan itu pulalah yang menjadi tujuan dari segala etika agama.
Benar bahwa semakin kukuh hubungan manusia dengan alam raya, semakin dalam pengenalannya terhadapnya, sehinnga semakin banyak yang dapat diperolehnya melalui alam itu. Namun, bila hubungan hanya terbatas disana, pasti hasil yang dicapai adalah penderitaan dan penindasan manusia atas manusia, atau dengan alam itu sendiri. Inilah antara lain kandungan pesan Tuhan yang diletakkan dalam rangkain wahyu pertama: Sesungguhnya manusia berlaku sewenang-wenang manakala merasa dirinya mampu (QS. 96:6-7).
Sebaliknya, semakin baik interaksi manusia dengan manusia, dan interaksi manusia dengan Tuhan serta interaksi dengan alam, pasti akan semakin banyak yang dapat dimanfatkan dari alam raya ini. Karena, ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerja sama dan Tuhan akan merestui.

Sunnah Menganjurkan Penghijauan dan Reboisasi
Secara pasti dapat dikatakan bahwa Sunnah memberikan perhatian terhadap reboisasi dan penghijauan dengan amat besar dan tidak ada bandingnya. Banyak hadits Nabi saw. yang menjadikan pekerjaan menanam tamanan sebagai salah satu amal saleh yang paling besar dan salah satu cara taqarrub yang paling afdhal kepada Allah SWT. Karena dengan upaya itu, nantinya pohon itu dapat dimanfaatkan oleh manusia, burung, atau hewan. Ia adalah sedekah jariyah yang terus mengalir baginya (selama pohon itu masih hidup).
Muslim meriwayatkan dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda:
“Sungguh muslim yang menanam suatu tanaman, maka jika hasil dari tanamannya itu dimakan manusia, maka akan menjadi sedekah baginya; jika hasilnya dicuri orang, juga akan menjadi sedekah baginya; dan jika dicabut seseorang, maka itu juga akan menjadi sedekah baginya hingga hari kiamat.” (HR. Muslim)

Dalam pandangan agama, manusia dituntut untuk mampu menghormati proses-proses yang sedang tumbuh, dan terhadap apa saja yang ada. Etika agama terhadap terhadap alam mengantar manusia untuk bertanggung jawab sehingga ia tidak melakukan perusakan atau dengan kata lain “setiap perusakan terhadap lingkungan harus dinilai sebagai perusakan pada diri manusia sendiri”. Bukankah Allah telah mengancam sikap perusakan di bumi?
Dengan demikian, sikap yang diajarkan agama ini, tentunya tidak sejalan dengan sikap sementara sikap teknoratis yang memandang alam semata-mata sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif manusia. Sikap yang diajarkan oleh agama terhadap alam seperti yang digambarkan di atas, megantarkan manusia untuk membatasi diri sehingga tidak terjerumus di dalam pemborosan.

Menjaga Makhluk Hidup Dari Kepunahan
Rasulullah bersabda: “Kalaulah anjing bukan bagian dari makhluk hidup niscaya aku akan memerintahkan untuk membunuhnya. Akan tetapi, bukanlah anjing yang hitam kelam.” (HR Ibnu Dawud)
Hadits Nabi saw. ini manunjukkan akan hakikat kosmologis yang ditetapkan al-Qur’an, yaitu kelompok hidup yang lain yang tidak berpikir yang mempunyai bentuk habitat sendiri, yang membedakannya dari kelompok lainnya. Serta mereka saling berhubungan sebagai suatu ekosistem. Al-Qur’an mengatakan:
“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. tiadalah kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, Kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” (al-An’am: 38)

Kesamaan yang disebutkan dalam Al-Qur’an tidak berarti kesaman dalam segala sesuatu. “Yang sama” tidak harus persis sama dengan “yang disamakan” dalam semua segi, namun cukup pada segi tertentu saja. Segi itu adalah adanya kesamaan jenis. Semuanya mempunyai bangsa tersendiri yang harus dihormati. Ini adalah hikmah Allah SWT Yang menciptakan semua itu dan membedakannya dari semua bangsa dan kelompok lainnya. Bangsa semut bukan bangsa tawon, dan bukan pula bangsa laba-laba.
Selama ia adalah bagian dari suatu kelompok makhluk hidup, maka kita tidak boleh membuatnya punah, karena ini bertentangan dengan hikmah Allah SWT. dalam menciptakannya.

Pencemaran Lingkungan Hidup Manusia
Subsidi enersi yang dibawa oleh manusia ke dalam lingkungan buatannya bertambah lama bertambah kompleks. Dalam dunia pertanian, mulailah mereka dengan pupuk kandang, meningkat kepada pupuk ZA, ke macam pupuk phosphate dan seterusnya berkembang sesuai kebutuhan tanah garapannya. Di samping pupuk untuk menyuburkan tanah pertanian mereka, maka muncul pula problem baru dalam dunia pertanian ini yakni hama tanaman.
Hama tanaman padi misalnya mulai berdatangan dari hama burung, walang, sampai yang sekarang dirasakan sulit diatasi, yakni hama wereng. Terhadap hama-hama ini mau tidak mau manusia juga harus memberantasnya demi menjaga produksi padi agar bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka. Ternyata subsidi enersi yang dibawa manusia ke lingkungan buatannya tersebut mempunyai rentetan lain di luar dugaan manusia.
Jadi pada dasarnya peristiwa pencemaran ini mempunyai beberapa komponen pokok untuk bisa disebut sebagai pencemaran, yakni:
1. Lingkungan yang terkena adalah lingkungan hidup manusia.
2. Yang terkena akibat negatif adalah manusianya.
3. Di dalam lingkungan tersebut terdapat “bahan berbahaya” yang juga disebabkan oleh aktifitas manusia.

Dari ketiga komponen pokok inilah maka konsep pencemaran lingkungan hidup akan berbunyi : “pencemaran akan terjadi apabila dalam lingkungan hidup manusia (baik lingkungan fisik, biologis dan ligkungan sosialnya) terdapat suatu “bahan” dalam konsetrasi sedemikian besar, yang dihasilkan oleh proses aktifitas kehidupan manusia sendiri, yang akhirnya merugikan eksistensi manusia juga,”
Di samping perkembangan tentang konsep bahan pencemar di atas, maka masalah tentang apakah sesuatu bahan pencemar tersebut bisa atau tidaknya merugikan manusia juga.
Menurut hemat penulis, kerusakan yang terjadi semata-mata diakibatkan oleh kelalaian manusia pada Tuhannya, karena semua yang ada di dunia ini sudah diatur oleh Tuhan dan disampaikan kepada manusia melalui firman-Nya. Tinggal bagaimana manusia itu memahami dan mengaplikasikan firman Tuhan tersebut.

*Mahasiswa Jurusan Tafsir dan Hadis, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga.
Email: firmandaeva@yahoo.com

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More